Jumat

Menghadapi Guna-guna

Mencintai Yesus berarti berani membayar ongkos. Ongkosnya adalah mencicipi ketakutan bila menghadapi kuasa gelap. Saya berdoa mohon perlindungan Tuhan. Dengan mata tertutup karena ngeri dan berkeringat dingin, saya menegak habis air teh 1 gelas besar itu. Biar teh itu diberi gula, saya tidak lagi bisa menikmati manisnya. Perasaan sih ada sesuatu yang lain di dalamnya.
– o –
          Staf departemen personalia itu masuk ke kamar kerja saya. Waktu itu saya bertugas di unit pemasaran di sebuah kota yang kantornya disatukan dengan pabrik untuk penghematan biaya. Dengan penyatuan ini maka interaksi antardepartemen bisa dilakukan setiap saat dan cepat. Ia orang Kristen sejak lahir. Istrinya adalah sekretaris saya.
 
          “Aku mau bicara di luar kedinasan,” katanya, “atas nama pribadi.” Dia melirik gelas di meja yang berisi teh manis. “Masih berani minum air sumur artesis pabrik yang kandungan kapurnya tinggi?”
          “Kamu sendiri juga minum, mengapa aku takut?”
 
          Setiap makan siang ia selalu ke kantor saya untuk menemani istrinya menyantap bekalnya. Dan 2 minggu ini ia selalu mendesak saya untuk membawa air minum sendiri. “Bagaimana prestasi kerja Prapto?” tanyanya. Prapto adalah karyawan unit produksi yang berhasil lulus test untuk pindah ke unit pemasaran. Bila ia tidak lulus masa percobaan 3 bulan, ia akan dikembalikan ke unit semula.
 
          “Bagus,” jawab saya. Dan kemudian saya menguraikan “bagus”nya itu apa. Tidak pernah terlambat datang. Target harian yang ditetapkan bisa dicapai, bahkan kadang dilampauinya. Tidak ada keluhan dari toko karena ia bisa tetap sopan walaupun pemilik toko mengomel tanpa alasan yang jelas.
 
         “Kamu pasti tahu seperti apa prestasinya di produksi. Selalu terlambat datang. Sering menghilang dari kantornya untuk mencuri tidur di gudang. Tidak punya team spirit. Tetapi di sini ia berubah. Bahkan aku dengar dari office boy-mu ia datang 1 jam lebih awal membantu menyiapkan minum. Apa kamu tidak mengherani perubahannya yang drastis ini?”
          “Siapa dulu bosnya?” jawab saya bergurau.
 
          Ia menggaruk-garuk kepalanya. “Kalau begini aku harus bicara terus terang. Tapi ini rahasia antara kita. Walau kerjanya di unit produksi jelek, atasannya tidak mau memecatnya. Memberi surat peringatan pun tidak. Tahu sebabnya? Dukunnya kuat. Aku dapat informasi dari sumber yang bisa dipercaya setelah pindah ke sini ia setiap Minggu ke luar kota mengunjungi dukunnya. Itulah sebabnya aku mendesak kamu bawa air minum sendiri. Aku kuatir air teh ini sudah diisi guna-guna sehingga kamu jadi lembek dan tanpa sadar memberinya nilai bagus.” Langsung saja muka saya terasa pucat.
 
          Setelah ia pergi, nanar saya memandangi gelas minum saya. Saya percaya apa yang dikatakannya benar karena ia dikenal sebagai staf yang berdisiplin tinggi, tidak memihak, jujur dan bersih. Ia penatua sebuah gereja. Saya tahu sumber yang bisa dipercayanya adalah mata batinnya sendiri. Walaupun ia orang Kristen, rekan-rekan kerjanya tahu ia masih memiliki ilmu mistik. Ia telah melihat “isi” gelas ini. “Bila perlu bantuan,” katanya ketika berpamitan, “lepas dari kedinasan aku siap mendampingimu. Jika kamu tidak tahu apakah aku sedang memfitnah atau tidak, aku antar kamu ke rumah dukunnya. Tidak jauh, hanya satu setengah jam bermobil.”
 
          Bulu kuduk saya merinding. Ada 3 pilihan bagi saya. Pertama, menghindar, dengan membawa minum dari rumah. Tetapi bila Prapto tahu saya menghindar, bisa saja ia mengirim sesuatu yang lebih dahsyat langsung ke rumah saya. Santet, misalnya. Kedua, menggandeng sekutu, meminum air teh ini dengan meminta penangkalnya dari teman yang punya ilmu putih itu. Ini berarti saya belum siap untuk menjadi mempelai perempuan Tuhan Yesus, tetapi baru memacari-Nya. Bukankah dalam berpacaran kita tidak terikat dengan 1 orang saja? Risikonya, saya bisa menomorduakan Yesus dan menomorsatukan ilmu putih. (Tentang hal ini telah saya tulis dalam blog berjudul “Berapa banyak pacar Yesus?”) Pilihan ketiga, menerima tantangan, meminum air teh itu dengan keyakinan atas perlindungan Tuhan Yesus. Masalahnya, apa betul Yesus akan melindungi saya? Ayub saja yang begitu soleh hidupnya, Tuhan membiarkannya dipermak habis oleh Iblis. Apalagi saya yang masih amburadul. Jika itu terjadi, apa saya kuat menanggungnya?
 
          Mencintai Yesus berarti berani membayar ongkos. Ongkosnya adalah mencicipi ketakutan bila menghadapi kuasa gelap. Saya berdoa mohon perlindungan Tuhan. Kemudian, dengan mata tertutup karena ngeri dan berkeringat dingin, saya menegak habis air teh 1 gelas besar itu. Biar teh itu diberi gula, saya tidak lagi bisa menikmati manisnya. Perasaan sih ada sesuatu yang lain di dalamnya. Hiiii.
 
          Setiap pagi, setelah berdoa panjang, dengan mata terpejam dan hati was-was, saya minum air teh yang tersaji di meja kerja saya. Bila perut saya sakit atau tubuh demam, saya panik sekali. Jangan-jangan . . . . Saya tidak malu mengakui, saat itu saya tidak tahu iman saya sembunyi di mana. Waktu 3 bulan masa percobaan Prapto selesai, saya meneliti kembali nilai-nilai hariannya yang saya buat. Ada beberapa kelemahannya, tetapi tidak berarti. Saya yakin nilai-nilai itu betul karena saya hitung berdasarkan catatan-catatan yang berisi data pendukung. Saya yakin saya tidak dalam pengaruh kuasa supranatural. Saya kirim data itu ke unit pemasaran Jakarta karena memang mereka yang membutuhkan tambahan tenaga. Ia dinyatakan lulus. Saya juga tidak celaka sehingga muncul keraguan apakah betul setiap pagi ia memasukkan sesuatu kedalam minuman saya.
 
          Baru 2 bulan Prapto di Jakarta, staf personalia kantor pusat yang dikhususkan membantu para manajer pemasaran dalam masalah SDM menelepon saya.
          “Bagaimana jika Prapto dimutasi kembali ke kota asalnya agar motivasi kerjanya bisa optimal?”
          “Mana bisa?” tanya saya. “Bapak sendiri tahu daerah saya dihitung dari potensi pasarnya sudah kelebihan tenaga setengah orang. Kalau ditambah 1 orang lagi apakah Bapak bisa memberikan jaminan tertulis saya tidak akan dipenalti oleh direktur pemasaran?”
          “Kalau begitu Prapto kamu tukar dengan 1 orangmu.”
          “Saya bingung. Dari dulu Bapak tidak pernah setuju dua daerah pemasaran saling bertukar SDM karena itu memubazirkan biaya transfer yang harus ditanggung perusahaan. Lagipula dengan keseragaman gaji mana ada orang daerah mau pindah ke Jakarta. Bisa bangkrut dia. Apa itu yang mendorong Prapto meminta Bapak mengembalikannya ke kota asal? Sebaiknya Bapak mengingatkannya surat pernjanjian kerja yang ditandatanganinya pada hari kerja pertamanya yang menyatakan bersedia dipindah ke mana saja dan ke pekerjaan apa saja selama gaji tidak diturunkan.”
          “Pur, cobalah kamu tanya bawahanmu. Siapa tahu ada yang mau bertukar tempat dengan Prapto.”
          “Ada yang saya herani,” kata saya tanpa merespon permintaannya. “Mengapa Prapto tidak mengajukan permintaan ini kepada atasannya untuk kemudian dibahas oleh departemen pemasaran? Jika pemasaran sulit membuat keputusan, baru Bapak akan dilibatkan untuk memberi saran. Maaf Pak, saya hanya mengucapkan undang-undang buatan Bapak sendiri. Pak Rachmat, saya kuatir jangan-jangan Bapak sudah kena guna-guna.”
          “Hus, jangan ngawur,” katanya sambil tertawa. “Guna-guna itu bohong-bohongan untuk menguras duit orang yang sedang bingung. Sudah ya, jangan lupa tanya sama bawahanmu.”
 
          Begitu ia memutuskan telepon, saya menelepon manajer pemasaran unit Jakarta yang kantornya tidak seatap dengan kantor pusat. Ia seorang Katolik yang saleh dan kami sering berdiskusi mencari solusi bagaimana tetap bersih dalam perusahaan ini. Ia memberitahu Prapto rajin bekerja dan berkelakuan baik. Pada akhir bulan pertama di Jakarta, Prapto sudah menyampaikan keinginannya untuk kembali ke kota asalnya. Ia menolak karena tahu daerah saya tidak membutuhkan tambahan tenaga. Ia tidak tahu Prapto telah menghubungi personalia. Tetapi ia tidak mempermasalahkannya selama kebutuhan SDM di daerahnya terpenuhi.
 
          Tidak ada bawahan saya yang mau bertukar tempat. Alih-alih menggunjingkan Prapto mereka malah mengherani Pak Rachmat. Mereka heran bagaimana bisa orang yang sangat teguh menegakkan disiplin kerja dan menjaga peraturan kerja bisa bersikap begitu lunak.
 
          Beberapa bulan kemudian ketika saya dipanggil ke kantor pusat saya menyempatkan diri mampir ke kantor pemasaran Jakarta. Seorang rekan Prapto berbisik kepada saya, “Kata Prapto, Bapak orang kuat. Bapak belajar di mana?” Belajar apaan? Agaknya ia sadar telah kelepasan omong sehingga cepat-cepat merubah topik pembicaraan. Tetapi saya terkejut ketika bertemu Prapto. Ia menyalami saya dengan cara yang tidak pernah dilakukannya sebelumnya. Dengan takzim ia membungkuk dalam-dalam sampai tubuhnya nyaris membentuk sudut 90 derajat seperti lurah bertemu menteri. Lalu ia minta maaf tidak bisa berbincang-bincang dengan saya karena ada yang harus segera dikerjakannya. Apakah ini sikap yang sopan dari seseorang terhadap mantan pelatihnya? Mengapa ia bergegas pergi meninggalkan saya seolah-olah saya black debt collector?
 
          Pasti ia telah meracuni saya selama 3 bulan masa percobaan itu. Saya sangat geram sehingga akan meminta atasannya memanggilnya menghadap untuk saya interogasi. Tetapi saya batal melakukannya kala teringat Firman Tuhan dalam Mazmur 91:9-11. “Sebab TUHAN ialah tempat perlindunganmu, Yang Mahatinggi telah kaubuat tempat perteduhanmu, malapetaka tidak akan menimpa kamu, dan tulah tidak akan mendekat kepada kemahmu; sebab malaikat-malaikat-Nya akan diperintahkan-Nya kepadamu untuk menjaga engkau di segala jalanmu.” Mengapa saya harus mempermalukan orang yang sudah kalah?
 
          Malah jiwa saya diselimuti keharuan. Haru akan perlindungan Tuhan atas diri saya yang sehari-hari masih mengecewakan-Nya.  Ah, mana ada allah seperti Allah kita. (Sabda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar